Asalnya kehidupan perempuan ada di balik tabir, di balik tembok rumah suaminya, di balik tembok ma’had. Terpelihara dan terjaga. Pun ketika kondisi mewajibkannya untuk keluar, ada adab dan seperangkat aturan yang wajib ia gigit dengan gerahamnya. Bukan untuk mengekang, semua semata-mata demi ketepatan posisi dirinya dalam pergerakan alam semesta ini. Yang kemudian menyumbangkan keharmonisan tatanan sosial dalam peradaban manusia secara keseluruhan.
Tapi kini, tabir dan tembok itu berhasil dijebol. Bukan oleh tank seperti di Jalur Gaza sana. Bukan dihancurkan oleh drone-drone AS seperti di Timur Tengah sana. Tapi oleh jari-jemari perempuan sendiri.
Perempuan boleh jadi tetap berada dalam selubung milhafahnya. Selimut-selimut yang menjuluri sosoknya bahkan hingga menyapu tanah. Perempuan boleh jadi tetap berada dalam rumah suaminya, bersama anak-anaknya. Tapi tidak jiwanya, jiwanya melayang-layang dalam kotak kecil bernama gadget. Agenda harian terlaporkan dengan rapi dalam status-statusnya. Kadang tanpa maksud apa-apa hanya setitik kecil eksistensi diri yang menemukan labuhannya. Semua rasa, semua kesal, semua sedih, semua syukur, ragam peristiwa, berat, ringan, besar, kecil, terupdate sempurna.
Tulisan ini bukan untuk menghujat perempuan manapun yang gemar menyalurkan eksistensi dan ekspresinya dalam beragam media sosial. Tulisan ini sejatinya ditelunjukkan bagi penulisnya sendiri, sebagai bentuk refleksi atas padatnya aktivitas harian termasuk berjejaring sosial yang teramat mengaburkan pandangan dan mengeruhkan mata hati.
Bahwa kita adalah perempuan yang menyimpan sejuta pesona bagi lawan jenis kita. Bahwa kita ditakdirkan sebagai makhluk yang berpotensi paling besar untuk menjadi fitnah bagi laki-laki dan masyarakat. Kita punya potensi itu. Dan kita sudah diberikan mata hati, naluri dan akal untuk menyadari itu. Meski kadang terlambat.
Mari amati berapa banyak kaum lelaki yang menimpali status kita, foto-foto kita, stempel jempol kita dengan komentar-komentarnya. Amati adakah naluri mereka bangkit karena status kita. Ketika mereka menjadi begitu perhatiannya, begitu genit dan menggoda. Ketika mereka menjadi gemar mampir di wall kita, sekedar bercanda atau malah memberikan emoticon kedipan mata. Kemudian kita pun tergoda melakukan interaksi yang tidak penting dan sia-sia dengan mereka.
Jika demikian, artinya kita sudah menjadi warna tersendiri dalam kehidupan dunia mayanya. Kita sudah berhasil mengetuk-ngetuk pintu syahwatnya. Apa jadinya jika mereka yang terfitnah adalah lelaki yang belum menikah. Adakah mereka kemudian melakukan layanan swaseksual dengan imajinasinya atau malah menjadi banal dan bebal? Lebih lagi jika yang terfitnah adalah lelaki yang sudah menikah, tegakah kita menjadi pencetus meregangnya sebuah mitsaqan galizha? Astaghfirullahha wa atubu ilaih. Laa haula wa laa quwwata illa billah. Terlepas dari mereka yang memang tulus memberikan nasihat pada kita. Kadang jika tak pintar-pintar menjaga hati, nasihat yang tulus pun menjadi bumerang bagi hati kita sendiri untuk bersimpati, berempati, kemudian terfitnah sendiri. Na’udzubillah min dzalik. Ketahuilah, media sosial semacam facebook sangat mampu menciptakan atmosfer interaksi yang dekat, akrab, dan hangat namun terbuka dan mudah terakses publik.
Kita seolah lupa bahwa di dunia maya pun tetap ada anggah-ungguh yang mesti kita jaga. Jika di dunia yang sebenarnya kita malu berseloroh, menimpali perbincangan dan percakapan seenaknya, kita malu bercanda dengan lawan jenis, kita malu menjulurkan lidah kita, kita malu mengedipkan mata kita terhadap lawan jenis kita, mengapa rasa malu itu runtuh ketika jemari kita menghadapi keypad handphone kita? Mengapa hijab ini tak berbekas di sana? Astaghfirullah wa atubu ilaih.
Media sosial dengan kecanggihan penyimpanan datanya dapat menjadi sarana kita untuk memflashback ekspresi-eskspresi yang telah lewat. Entah bagaimana jadinya jika kita melihat catatan amal kita di yaumul hisab nanti. Semoga tidak terlambat kita memperbaikinya. Ashlihlana ya Rabbana.
Bermedia sosial bukan tak ada manfaatnya, namun di sana benar-benar membutuhkan kecanggihan hati kita untuk menilai tiap-tiap ekspresi yang hendak kita tampilkan. Menyadari bahwa ekspresi kita berpotensi diketahui banyak orang, lawan jenis, keluarga, kawan lama, murid, anak, dan seterusnya. Jadi, mari kita berusaha menghadirkan tanggung jawab menjaga tatanan ummat ini agar tetap pada orbitnya, berusaha menjaga anak-anak ummah muslimah dari menduanya hati ayah-ayah mereka terhadap kita, berusaha menjaga apa yang seharusnya ada di balik tabir agar tetap ada di balik tabir, dan berusaha menjaga semua ekspresi kita dari riya’ dan ijab nafsi (kagum diri). Mari!