Entah apa yang ada di benak beberapa oknum pemerintah/pejabat/penguasa negeri ini, terkait dengan (Simbol-simbol) Islam. Mereka tidak henti-henti menyoalnya, seolah-olah ini masih zaman bahaeula. Ada saja urusan-urusan yang tidak seharusnya dibahas akhirnya jadi masalah besar. Jenggot, gamis, jidat, seolah-olah semua harus diwaspadai. Tidak lama kemudian, menyusul ide nyeleneh, tentang perlunya diadakan sertifikasi kurikulum pesantren dan ulama.
Kini, ketika isu-isu tersebut masih segar diingatan, kembali gagasan ‘gila’ terkait simbol Islam mencuat, yaitu; larangan menggunakan jilbab bagi para Polwan (Polisi Wanita). Yang lebih aneh lagi, alasan yang digunakan adalah untuk menghemat anggaran.
Simak pernyataan Kepala Bagian Penerangan Umum Polri Kombes Pol Agus Rianto. Menurutnya, penambahan jilbab jika diberlakukan akan berdampak umum. Sehingga Polri harus menambah kocek tambahan. “Karena kalau pakaian (jilbab) itu dibagikan berarti anggarannya lain lagi,”ujarnya. (Republika.co.id).
Jelas ini alasan terasa janggal dan terkesan sangat dipaksakan. Persis seperti yang diutarakan oleh Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), “Masa dana untuk jilbab jadi masalah? Alasan yang tidak masuk akal,” kata Hamidah, salah satu anggota Kompolnas, sebagaimana yang dikutip di situs yang sama.
Lagi pula, bukankah semua anggaran itu dari rakyat? Mengapa justru mereka tidak ribut ketika adanya dugaan anggaran-anggaran yang diselewengkan aparat atau yang dikenal dengan ‘rekening gendut’ pada perwira polisi?
Selain alasan yang tidak rasional itu, sejatinya pelarangan pemakaian jilbab, juga melanggar Hak Asasi Manusia (HAM). Bagaimana pun, setiap individu memiliki hak menjalankan keyakinan dan ibadah sesuai dengan agamanya. Dan ini dilindungi oleh HAM.
Sepatutnya, pihak kepolisihan menghormati hal ini. Lebih-lebih, kalau melihat mayoritas penduduk negeri ini adalah beragama Islam. Tidak sepatutnya bersikap diskriminatif terhadap Polwan berjilbab. Toh dengan berseragam demikian, tidak mengurangi keprofesionalitasan mereka dalam menjalankan tugas. Hingga kini, belum ada berita negatif, bahwa kinerja Polwan berjilbab jauh di bawah standart.
Di Inggris saja, Polwan diperbolehkan untuk berjilbab, karena menghormati hak azasi. Seharusnya, polisi berkaca; bagaimana mungkin di negara yang mayoritas penduduknya beragama non-Islam, memberikan peluang begitu bebasnya bagi kaum minoritas (Baca: polwan Muslimah) untuk menjalankan kewajibannya, memakai hijab.
Di lain pihak, Indonesia, negeri berpenduduk Muslim terbesar di dunia, justru bersikap sebaliknya; terkesan membatasi. Aneh rasanya aparat di negeri ini.
Yang lebih subtansial, menutup aurat (Salah satunya dengan menggunakan jilbab), adalah perkara ushul (Mendasar) dalam Islam, bagi seorang muslimah yang sudah baligh. Ini artinya, telah menjadi kewajiban seorang Muslimah untuk menutup seluruh auratnya, kecuali wajah dan telapak tangan, sesuai dengan petunjuk Nabi, melalui sabdanya, yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan Baihaqi.
Dengan demikian, itu artinya, pelarangan pemakaian jilbab, tidak hanya melanggar HAM, namun setali tiga uang, juga melanggar kewajiban-kewajiban yang telah ditetapkan oleh Allah, sebagaimana yang para Muslimah yakini.
Jika para pejabat itu paham ini, pasti mereka tahu, bahwa tidak ada alasan melarang pemakaian jilbab, dengan dalih apapun. Apatah lagi bila dasarnya terkesan sangat rapuh dan dibuat-buat. Jangan sampai kasus ini justru mempertegas tentang adanya stigma buruk pemerintah/polisi terhadap (simbol-simbol) Islam.
Jika perlu, cobalah Polri belajar melihat bagaimana para polisi wanita di Yaman, Iraq, Afghanistan, Pakistan, dalam penggunaan seragam untuk polwannya. Setelah itu renungkanlah, apakah kalian cukup adil memperlakukan aparat wanita kalian yang Muslimah untuk melaksanakan hak menggunakan jilbabnya?
Jika hati nurani kalian mengatakan “Ya memang tidak adil,” dan kalian masih melarangnya juga, maka persoalannya bukan masalah teknis atau anggaran. Boleh jadi, memang ada usaha untuk menghapus simbol-simbol Islam di institusi kepolisin negeri ini. Kalau begitu, apa bedanya polisi zaman sekarang dengan Orde Baru?.*