Kementerian Agama (Kemenag) mencatat setiap tahunnya telah terjadi 212 ribu kasus perceraian di Indonesia. “Angka tersebut jauh meningkat dibanding 10 tahun yang lalu, yang jumlah angka perceraiannya hanya sekitar 50.000 per tahun,” kata Wakil Menteri Agama Nasaruddin Umar di Jakarta, Sabtu (14/9/2013). Nasaruddin sangat prihatin dengan tingginya angka perceraian tersebut. Apalagi, hampir 80 persen yang bercerai merupakan rumah tangga usia muda.
Untuk menekan angka ini, salah satu langkah jitu yang diambil pemerintah melalui Kemenag adalah mengadakan Kursus Calon Pengantin (Suscatin) dengan menunjuk Kantor Urusan Agama (KUA) sebagai lembaga pelaksananya. Kursus ini diberikan kepada setiap calon pasangan yang akan melaksanakan pernikahan dengan tujuan agar memahami pengetahuan tentang kehidupan rumah tangga/keluarga dalam mewujudkan keluarga sakinah, mawaddah dan rahmah serta mengurangi angka perselisihan, perceraian dan kekerasan dalam rumah tangga.
Materi kursus ini diberikan selama 24 jam pelajaran, meliputi tata-cara dan prosedur perkawinan, pengetahuan agama, peraturan perundang-undangan di bidang perkawinan dan keluarga, hak dan kewajiban suami istri, kesehatan reproduksi, manajemen keluarga dan psikologi perkawinan dan keluarga. Hal ini juga dikuatkan oleh pernyataan Dirjen Bina Masyarakat (Bimas) Islam Kementrian Agama, Abdul Djamil bahwa pembekalan yang diberikan meliputi pemahaman bahwa pernikahan adalah bersatunya dua individu yang berbeda pikiran dan pandangan sehingga dibutuhkan saling pengertian dan kesabaran dalam menyikapi perbedaan tersebut.
Apa penyebabnya?
Jika ditelaah secara mendalam, setidaknya terdapat dua faktor yang menyebabkan tingkat perceraian kian meroket, yaitu faktor internal dan faktor eksternal.
Faktor internal, meliputi ketidaksiapan pasangan suami istri dalam menghadapi berbagai permasalahan yang terjadi dalam kehidupan rumah tangga, dan kurang pahamnya pasangan suami istri tentang hakikat tujuan pernikahan.
Tidak dipungkiri bahwa masih banyak pasangan suami istri (pasutri), ketika memasuki fase kehidupan baru rumah tangganya, penuh dengan bayangan seperti pernikahan Cinderella. Hidup penuh dengan kebahagiaan, kemesraan dan kemapanan. Tetapi, ketika di tengah jalan ternyata ada batu kerikil,duri yang menghalangi atau bahkan badai masalah yang menerpa, mereka tidak punya kesiapan untuk tetap menjalaninya bersama. Bisa jadi itu masalah ekonomi berupa PHK, masalah ketiadaan komunikasi yang mengakibatkan salah pengertian atau lainnya, hingga akhirnya berakhir dengan perceraian.
Selain itu, kurangnya pemahaman pasutri dalam memaknai tujuan pernikahan juga dapat menjadi pemicu meroketnya perceraian. Dalam pandangan Islam, tujuan pernikahan adalah untuk mendapatkan ketentraman (QS. Ar-Rum: 21) dan keturunan. Ketentraman ini akan tercapai jika masing-masing pihak mengerti dan melaksanakan hak dan kewajibannya dengan baik. Sehingga, kehidupan rumah tangganya berjalan dalam suasana persahabatan. Penuh kasing sayang, saling menerima, memaafkan, sabar menghadapi perbedaan, menutupi kekurangannya, saling menasehati dalam kebaikan dan selalu berusaha memberi yang terbaik untuk pasangannya.
Adapun faktor eksternalnya adalah sistem kehidupan kapitalistik yang serba bebas saat ini, sedikit banyak juga menjadi pendukung meroketnya perceraian di kalangan pasutri. Tayangan sinetron dan infotainment dengan kehidupan hedonisnya telah memberi ‘inspirasi’ bagi para suami atau istri untuk mempraktekkan apa yang dilihatnya.
Di samping itu, merebaknya ide kesetaraan gender juga menjadi salah satu pemicunya. Ide ini telah banyak ‘melahirkan’ para istri yang berpenghasilan lebih tinggi dari suaminya. Kondisi ini tak jarang menjadikan ketaatan si istri terhadap suami terhapus, dan akhirnya berujung dengan perceraian.
Solusi
Fenomena perceraian yang terus meningkat ini tidak bisa dipandang hanya sebagai kasus sosial semata. Tetapi harus juga ditinjau berdasarkan pandangan hukum syara’, dimana pernikahan merupakan salah satu bentuk ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sehingga, apapun jika dilandasi pemahaman bahwa sesuatu itu merupakan ibadah kepada Allah Ta’ala, maka akan mendatangkan pahala yang luar biasa jika dijalani dengan baik. Dengan pemahaman ini, tidak akan mudah pasutri akan melepaskan tali pernikahannya.
Namun pun demikian, jika sampai pada kondisi tertentu hingga pada batas masing-masing wali dari keluarganya sudah memediasi tetapi tetap tidak mampu membantu menyelesaikan permasalahan yang terjadi, maka perceraian bisa menjadi satu-satunya solusi.
Artinya, pernikahan dan perceraian harus selalu dipandang berdasarkan hukum syara’, bukan hanya karena kecewa, tidak cinta, ekonomi keluarga atau masalah-masalah yang sebenarnya masih bisa dicari solusinya. Untuk itu, cukuplah menjadikan Pernikahan Zaid bin Haritsah dengan Zainab binti Jahsyi hendaknya dapat menjadi teladan. Mereka menikah karena landasan syar’iy, demikian pula saat mereka bercerai.
Berdasar hal inilah, bagi penulis, jika pemerintah hanya mengandalkan Suscatin sebagai jurus jitu untuk menekan tingkat perceraian yang meroket ini, tidak akan efektif. Perlu upaya lain, berupa pembinaan keimanan dan pengetahuan akan hukum syara’ tentang pernikahan dan kehidupan berumah tangga kepada setiap pasangan yang akan menikah. Sehinggga pada masing-masing pihak muncul dorongan ruhiyah yang kuat untuk menjalani kehidupan berumah tangga bersama pasangannya.
Wallahu A’lam.