Sembilan tahun yang lalu diriku bertemu dengannya untuk yang pertama kali. Perkenalan ini terjadi karena suaminya adalah teman daurah suamiku di salah satu masjid di Yogjakarta. “Dik, besok kita silaturahmi ke rumah teman mas yang di Wukirsari ya,” kata suamiku suatu hari. “Insya Allah, tapi habis Ashar ya Mas,” jawabku sambil menyetrika pakaian yang masih menumpuk.
“Sudah siap Dik? Jangan lupa bawa oleh-oleh buat anak-anak mereka yang masih kecil-kecil,” ajak suamiku selepas dari masjid. “Ya tunggu sebentar Mas,” sahutku dari dalam dapur sambil memasukkan roti yang aku beli tadi pagi. Akhirnya kami pun berangkat dengan sepeda motor, setelah melewati beberapa desa dan persawahan yang mulai tampak menghijau, akhirnya kami pun sampai di depan rumah bambu yang kecil dan sederhana. Setelah bertanya pada seorang anak kecil yang sedang bermain di bawah pohon mangga di samping rumah itu, kami pun mengetuk pintu rumah yang terbuat dari kayu yang sudah melapuk.
“Assalammu’alaikum,”. Terdengar suara orang membuka pintu sambil menjawab, “Wa’alaikumussalam, Masya Allah Akh Farid, lama gak jumpa, gimana kabarnya,” sambil digenggamnya tangan suamiku dengan erat. “Nisa, Aisyah, ajak Tante masuk ke dalam ya, bilang sama Umi ada tamu,” kata lelaki itu pada kedua gadis kecil yang berdiri di dekatnya. “Baik Bi..,” jawab gadis kecil yang berusia sekitar 5 tahun sambil lari ke dalam, kemudian aku pun masuk mengikuti gadis yang lebih tua ke ruangan dalam.
Di belakang tirai bambu yang tergantung di tengah ruangan sebagai pemisah antara ruang tamu dan ruang dalam itu telah berdiri seorang perempuan kurus berpakaian sederhana dan berkerudung coklat yang sudah memudar warnanya, seperti kerudung kedua gadis kecilnya. Ia tersenyum ramah menyambutku. Dia memelukku seolah-olah kami sudah pernah bertemu. “Silakan masuk Dik, maaf saya tinggal sebentar ya,” katanya mempersilakan aku duduk di tikar berukuran 1×2 meter yang sudah mulai rusak sana sini terhampar dilantai tanah yang diratakan sambil menuju ke dapur.
Belum sempat saya menjawab, dia sudah datang dengan dua gelas air teh dan sepiring roti, oleh-oleh yang kami bawa. “Mari diminum,” katanya mempersilahkan. “Aisyah antar ini buat Abi sama Om ya,” katanya sambil menyodorkan sepering roti dan dua gelas teh yang lain. Nisa, yang dusuk dekat ibunya, setelah minum teh tiba-tiba berkata, “Umi, kenapa tehnya kok gak manis, Umi lupa kasih gula ya?,” tanyanya seolah mewakili rasa penasaranku juga saat meminum teh tadi. Ibunya tersenyum sambil mencubit pipi kurusnya, berkata, “Gulanya habis, tidak apa-apa ya sekarang minum teh pahit, nanti kalau Allah sudah memberi rezeki lag, kita beli gula biar tehnya manis kaya kamu, makanya kamu jangan lupa berdoa pada Allah ya.” Gadis kecil yang lucu itupun mengangguk, dengan suara lucu ia berdoa, “Ya Allah beri kami rejeki buat beli gula biar tehnya menjadi manis.” Akupun tersenyum sambil menyahut, “Aamiin,”.
Dalam hatiku sempat ada rasa malu, membandingkan keadaan diriku dengan dirinya, jauh rasanya. Kami kadang-kadang membuang teh manis hanya karena kami sudah tidak berkeinginan lagi meminumnya, dan saat tamu datangpun apa yang kami suguhkan terasa kurang pantas karena takut dianggap tidak mampu menjamu. Kejadian seperti ini mungkin sudah biasa terjadi dalam keseharian mereka, karena Hassan, ayah mereka hanya seorang tukang sablon di sebuah toko kecil yang penghasilannya tidak seberapa, dan Mbak Tien, begitu aku memanggilnya, menjahit kecil-kecilan di rumah, itupun dilakukan saat dia sehat. Karena yang saya tahu dari teman saya yang lain, dia memang sering terserang sakit perut yang hebat. Beberapa kali periksa ke Puskesmas, dokter menyarankan untuk memeriksa ke dokter spesialis kandungan, tetapi karena tidak adanya uang, maka itupun berlalu begitu saja. Setiap kali dia mengalami sakit, dia meminum beberapa butir habbatussauda yang dicampur dengan madu yang dia dapatkan dari seorang teman sebagai obat sunnah. Alhamdulillah dengan meminum itu sakitnya mulai berkurang.
Kembali lagi ke percakapan kami, dengan ditemani Nisa yang belajar menulis huruf ABC di sebuah kertas yang tampak lusuh, dan Aisyah juga sibuk mengerjakan soal matematika di kertas yang lain, seolah menjawab pertanyaan saya Mba Tien berkata, “Mereka sedang belajar, kami pakai sistem homeschooling, lebih murah dan alhamdulillah hasilnya juga lumayan. Saya sendiri yang mengajari mereka tiap sore.” Saya hanya mengangguk-angguk, tidak terbayang di jaman seperti ini masih ada orang yang tidak mampu sekolah walaupu setingkat sekolah dasar.
Tapi meskipun begitu, sepanjang kami mengobrol tidak sedikitpun dia menyinggung tentang pekerjaan kami, ataupun sekedar, mengungkapkan perasaan iri dengan keadaan orang-orang di sekitarnya. Dia hanya bercerita, “Rumah tangga adalah sarana untuk ibadah, kita sudah seharusnya selalu berpikir bagaimana dari dalam rumah kita terlahir hati-hati yang tulus yang senatiasa bersyukur pada Allah atas apapun yang telah Allah tetapkan.” “Rejeki, berapapun kita dapatkan adalah ketetapan Allah, jadi pandai-pandailah kita bersyukur, jangan terlalu membandingkan dengan teman-teman kita yang mungkin telah diberikan rejeki lebih,” lanjutnya sambil tersenyum.
Aku merasa malu dengan diriku sendiri, keadaanku yang tentunya jauh lebih baik dari dia, kadang merasa masih kurang segalanya. Bahkan kadang masih menuntut suamiku untuk mendapatkan penghasilan tambahan. Dan tak jarang wajah ini cemberut melihat teman punya baju baru maupun peralatan baru, sementara aku tak memiliki atau mendapatkannya.
Sore itu aku pamit dan berterimakasih atas apa yang telah kami perbincangkan, satu pertemuan yang tidak pernah terlupakan, tak lupa kuselipkan uang seratus ribu ke tangan Nisa, “Ini adalah rejeki dari Allah yang dititipkan lewat Tante atas doa Nisa yang barusan,” kataku sambil tersenyum. “Terimakasih Tante,” jawabnya lucu.
Sembilan tahun telah berlalu, hari ini kami kembali bertemu, dia sudah pindah dari rumah lamanya, memang lebih baik dari rumah yang lama, tapi perabotan yang kulihat masihlah perabotan yang sama. Hanya sekarang ada dua kursi kayu yang sudah tua umurnya dan kayunya sudah mulai mengelupas, serta tempat duduknya sudah mulai tidak rata.
Kabar terakhir yang kami terima, sebulan yang lalu dia sakit lagi dan sempat dirawat di rumah sakit seminggu lamanya. Untuk biaya pengobatanpun beberapa teman mengumpulkan uang untuk membayar biaya rumah sakit. Juga karena kondisi keuangan, ada beberapa tes pemeriksaan yang terpaksa tidak dapat dijalaninya, sementara obat yang dibutuhkannya pun hanya mampu ditebus setengah dari resepnya.
Mendengar semua itu, pada saat aku mengetuk pintu, aku membayangkan sebuah wajah sedih yang akan penuh dengan keluh kesah dan hilang kesabaran akan keadaan hidupnya yang tidak berubah.
Tetapi apa yang kutemui saat dia membuka pintu, wajah kurus yang makin tampak kurus terlihat jelas dari balik kerudungnya, kerudung yang sama saat aku bertemu dengannya sembilan tahun yang lalu, tetap mampu mengembangkan senyum ramah dan penuh kedamaian yang sama. Saat aku bertanya bagaimana kondisi kesehatannya, sambil tersenyum dia berkata, “Alhamdulillah Allah mudahkan semuanya, meskipun belum sembuh benar sudah bisa aktivitas ringan.”
Padahal kulihat kelelahan yang sangat di wajahnya. Dengan kedamaian yang sama dia berujar lagi,”Alhamdulillah juga Allah telah menganugerahkan seorang suami yang sabar, senantiasa sabar merawat saya dan juga anak-anak yang penurut. Dan kami juga bersyukur, Aisyah sudah masuk pondo pesantren di Jawa Timur dan dapat predikat juara.”
Pelan kuusap airmata yang terasa mengambang di mataku, banyak hal yang harus kupelajari dari sosok kurus, sederhana, dan senantiasa bersyukur ini.
Penulis: Khadijah (dengan beberapa editan)