Oleh Teuku Nurdin (*
Pemerintah Indonesia masih saja mencoba mengungkit-ungkit luka -luka lama dengan menentang mayoritas rakyat Aceh terkait soal bendera yang menurut persepsi Jakarta mirip bendera GAM,sehingga hari Selasa 2 April 2013 diadakan pertemuan antara Pemerintah Aceh dan pemerintah Indonesia di Banda Aceh.
Mengapa hal itu baru terjadi setelah setelah kedua pihak menandatangani MOU Helsinki 15 Agustus 2005 lalu di bawah pengawasan masyarakat internasional,padahal menurut Pemerintah Aceh bendera yang disahkan oleh DPR Aceh dengan suara mayoritas itu sebagai konsekuwensi MOU serupa halnya dengan keberadaan Partai Lokal di Serambi Mekkah itu.
Sebelumnya Kementerian Dalam Negeri menegaskan,bahwa penggunaan bendera dana lambang Aceh itu yang menurutnya mengadopsi bendera GAM itu bertentangan dengan perundangan yang ada diatasnya,karenanya bendera dan lambang Aceh itu perlu diganti dan pemerintah Indonesia memberi waktu dua minggu untuk merealisasikannya.
Bahkan lebih jauh lagi Mendagri,Gamawan Fauzi juga menegaskan bahwa kemungkinan perlu juga mengoreksi Qanun,suatu langkah yang sangat berbahaya karena mencoba mengusik pilihan mayoritas rakyat Aceh.
Meskipun suku bangsa Aceh sangat besar konstribusinya dalam perjuangan bagi kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia,sehingga dijuluki oleh Sukarno sebagai “Daerah Modal “itu dan Aceh pula bergabung ke RI bukan karena konsekuwensi KMB.
Terkait masalah tersebut semestinya Pemerintah Indonesia perlu lebih berhatri-hati dalam menyikapi soal Aceh tersebut.Apalagi MOU Helsinki yang dimediasi oleh Marty Achtisary itu sudah menjadi catatan masyarakat Internasional,AS,EU dan juga PBB.
Pertemuan yang di hadiri Gubernur Aceh,Dr Zaini Abdullah dan Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Djohermansyah Djohan dana sejumlah anggota DPR itu di harapkan bisa menelurkan suatu solusi yang bijak bestari, yang bisa mendinginkan suasana yang mulai panas tersebut.
Apalagi suara-suara dari komunitas nasionalis sekuler di Jakarta yang memang sejak lama tidak senang kepada rakyat Aceh mulai “memancing di air keruh”,dengan berbagai komentarnya seolah-olah dengan hanya bendera seperti itu Aceh ingin memisahkan diri dari NKRI.
Bagi sebagian kalangan yang kurang memahami latar belakang sejarah Aceh semestinya tidak perlu mengeluarkan komentarnya yang tidak mengetahui persoalnnya.Perlu diketahui sekiranya Aceh hendak berdiri sendiri sudah dilakukan sejak tahun 1945,ketika seluruh wilayah Indonesia dikuasai oleh Belanda.
Namun demikian Aceh justeru memfasilitasi Pemerintah Darurat RI (Pemerintah Indonesia dipengasingan) dan membiayainya dalam berbagai aspek sampai rakyat Aceh menyumbangkan pesawat-pesawat terbang, dan pasukan sekutupun mengakui kedaulatan Aceh.Setelah berakhir PD II pasukan sekutu tidak berhasil memasuki wilayah Aceh yanag berdaulat penuh saat itu, karena pasukan Aceh berhasil mempertahanakan wilayah kedaualatannya.
Bahklan Van Mook minta Aceh tidak membantu Indonesia,sebagai imbalannya Belanda mengakui Aceh sebagaimana Kesultanan Aceh tahun 1602 mengakui kemerdekaan Belanda dari Spanyol.Tetapi para elite Aceh tidak mempercayainya,karena pengalaman perang melawan Belanda itu dan tetap membantu perjuangan bangsa Indonesia.
Dalam konteks inilah sehingga Aceh tetap merdeka dan berdaualat ,lalu setelah Sukarno dan kabinetnya dibebaskan oleh Belanda dan mandat PDRI dikembalikan oleh Presiden Syafruddin Prawiranegara kepada Sukarno di Yogyakarta. Selanjutnya dalam perjanjian Konferensi Meja Bundar daerah-daerah yang dikuasai Belanda (BFO atau RIS) dikembalikan oleh Belanda yang kemudian menjadi NKRI, sementara Aceh dan Yogyakarta tidak termasuk didalamnya.
Namun kemudian Aceh dan Yogyakarta bergabung juga dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia(NKRI), karenanya masalah Aceh dan Yogyakarta itu perlu di perhatikan dengan serius oleh Jakarta.
Oleh Teuku Nurdin, Penulis adalah Pengamat Sosial - tulisan Kompasiana