Test Footer 1

Thursday, 27 June 2013

Gudang

Belajar sebagai Kebutuhan


Salah satu perbedaan manusia dengan binatang yaitu kemampuan dan kebutuhan untuk belajar (learning). Lihatlah bayi yang baru lahir. Keingintahuannya terhadap segala hal yang baru dijumpainya demikian besar. Saat dia mulai bisa melihat, maka dipandanginya terus tangan yang dimilikinya. Setelah itu eksplorasinya berlanjut dengan dimasukkannya ke dalam mulutnya. Semua itu bagian dari proses belajar sang bayi untuk mengenali anggota badannya. Tidak hanya itu, benda-benda yang ada di sekitarnya pun juga diperhatikan dan dieksplorasi sebagai bagian dari proses belajarnya. Saat dia mulai bisa merayap, merangkak, berjalan maka berbagai tempat dicoba didatanginya tanpa memperhitungkan resiko bahayanya. Keingintahuannya membuatnya berani untuk mencoba tanpa rasa takut.
Saat mulai bisa berbicara, cara belajarnya pun berkembang dengan bertanya. Segala hal baru ditanyakannya dengan pertanyaan filosofis “mengapa”. Orang tua terkadang bingung menjawabnya. Jawaban yang diperoleh disimaknya dengan baik dan jika belum puas dia terus bertanya “mengapa”. Demikianlah manusia sejak bayi dan anak-anak memang memiliki kemampuan dan kebutuhan untuk belajar. Allah menganugerahkan kemampuan itu karena memang manusia makhluk Allah yang special. Allah ciptakan untuk menjadi khalifah di muka bumi ini.
Sampai akhirnya dia pun masuk sekolah dan belajarnya menjadi formal. Pendidikan dasar SD dan SMP, berlanjut ke pendidikan menengah SMA atau SMK lalu pendidikan tinggi Diploma, S1, S2 atau S3. Belajar pun identik dengan sekolah dan bersekolah menjadi wajib, apalagi adanya program pemerintah berupa wajib belajar. Lalu syarat utama agar dapat mudah mencari kerja juga dilihat dari tingkat pendidikan karena setiap ada lowongan kerja pasti memberi syarat pendidikan minimal.
Terjadi pergeseran dari kebutuhan menjadi kewajiban. Saat bayi dan anak-anak belajar menjadi kebutuhan dan sungguh sangat mengasyikkan. Saat masuk ke pendidikan formal berubah menjadi wajib dengan kurikulum yang sangat padat dan ada yang tidak sesuai dengan keinginan dan kebutuhan. Jadilah belajar menjadi beban yang dijalani dengan kurang semangat. Targetnya bukan lagi mendapatkan ilmu atau kompetensi tetapi belajar agar dapat lulus ujian nasional yang menegangkan. Bukan hanya siswa yang stress tapi juga orang tua. Banyak yang tidak sabar akhirnya mengambil jalan pintas dengan melakukan kecurangan yang penting bisa lulus ujian nasional.
Kondisi inipun terbawa saat masuk ke perguruan tinggi. Datang ke kampus untuk belajar berbagai mata kuliah, ikut ujian sampai akhirnya menyusun skripsi, tesis atau disertasi. Menjalani ujian atau sidang, akhirnya lulus dan diwisuda. Namun setelah menyandang gelar sarjana, banyak yang tidak memiliki kompetensi, hanya memiliki ijazah. Hal ini terungkap saat wawancara kerja. Seorang direksi di perusahaan lingkup Kalla Group menceritakan pengalamannya saat mewawancarai calon karyawan. Melihat transkrip nilainya IPK tinggi di atas 3,0. Namun ditanya kompetensi tertentu dia tidak bisa. Kok bisa seperti ini? Nilai mata kuliah tidak sebanding dengan kompetensi?
Mengapa demikian? Saat kuliah dulu kita mendapatkan beragam mata kuliah yang dipandang terpisah. Tak ada pengintegrasian apalagi konstruksi menjadi kompetensi utuh. Ibaratnya kampus hanya menjadi toko bangunan yang mengeluarkan berbagai bahan bangunan berupa besi, semen, pasir dan sebagainya. Namun tidak peduli akan menjadi apa semua bahan bangunan tersebut. Apalagi mahasiswa memandang mata kuliah yang dipelajarinya hanya sebagai kewajiban, bukan kebutuhan. Prinsipnya adalah yang penting lulus ujian. Kita tidak peduli apa manfaat mata kuliah tersebut. Kita tidak pernah bertanya akan jadi apa semua bahan-bahan yang dipelajari tersebut.
Seharusnya kampus menjadi kontraktor bangunan. Ada grand design yang ingin dibangun dengan berbagai bahan bangunan tersebut. Artinya ada kompetensi yang ingin dikonstruksi dengan berbagai mata kuliah tersebut. Mahasiswa pun memahami dengan baik design tersebut. Harapannya mahasiswa dapat melihat berbagai mata kuliah yang dipelajarinya untuk membangun dirinya menjadi manusia yang kompeten. Ada visi dalam belajar sebagai kebutuhan pengembangan diri, bukan semata kewajiban agar mendapat ijazah.
Bagi dunia kerja tentu belajar harus memiliki visi kompetensi. Tuntutan pekerjaan yang menuntut pencapaian visi, misi dan target perusahaan membutuhkan kompetensi umum (personal, interpersonal, organisasional) dan khusus. Sehingga perusahaan pun harus mampu melakukan learning management bagi para karyawannya. Diawali dengan learning need analysis dengan mengidentifikasi kesenjangan kompetensi (gap competence) sebagai dasar merumuskan kebutuhan belajar para karyawan. Setelah itu learning process planning yaitu merencanakan proses belajar yang harus dilakukan oleh karyawan (training, development, education) agar kesenjangan kompetensinya berkurang. Selanjutnya learning process execution and evaluation yaitu menjalankan program pembelajaran yang efektif dan konstruktif untuk membangun kompetensi dengan monitoring dan evaluasi yang baik melalui coaching, mentoring dan counseling. Sampai akhirnya dapat dipastikan bahwa karyawan betul-betul memiliki kompetensi yang diharapkan. Ini ditandai dengan karyawan memiliki pengetahuan (knowledge), keterampilan (skill) dan sikap (attitude) yang sesuai dengan kamus kompetensi terkait. 

Gudang

About Gudang -

Author Description here.. Nulla sagittis convallis. Curabitur consequat. Quisque metus enim, venenatis fermentum, mollis in, porta et, nibh. Duis vulputate elit in elit. Mauris dictum libero id justo.

Subscribe to this Blog via Email :