Oleh Nasihin Masha
Hari-hari pekan lalu kita kembali dikejutkan oleh berita kunjungan sejumlah orang Indonesia untuk ke Israel. Mereka terdiri atas anggota DPR, wartawan, dan aktivis sosial. Undangan dari pihak Israel, biasanya diundang oleh lembaga sosial, bukanlah sekali ini. Hampir tiap tahun ada saja warga Indonesia yang diundang ke Israel. Selain wartawan, aktivis ormas keagamaan juga menjadi target yang diundang. Walaupun mereka tak mewakili organisasinya.
Wartawan Repubika beberapa kali juga diundang untuk hadir. Namun kami selalu menolaknya. Kami menolak bukan karena kami benci Israel. Bukan. Tapi kami mengukuhi prinsip. Walau bagaimanapun undangan itu pasti ada maksudnya. Alasan klisenya adalah membangun persahabatan, pemahaman, perdamaian, dan prinsip multikulturalisme. Sebuah alasan yang luhur dan mulia.
Bahkan di antara orang yang pernah diundang itu ada yang berpendapat melalui kunjungan itu maka dirinya atau bahkan Indonesia bisa menjadi juru damai. Tujuannya adalah memerdekakan Palestina. Ada pula yang berpendapat, melalui kunjungan itu dirinya bisa menjadi lebih tahu tentang Israel. Bukan sekadar mengetahui dari pemberitaan. Katanya, kita tak bisa menilai Israel jika kita tak pernah melihatnya sendiri. Ada pula yang berpendapat, Isarel itu negara kuat dan berpengaruh. Negeri itu juga unggul dalam teknologi informasi dan industri militer. Lebih baik Indonesia berkawan. Dengan demikian Indonesia akan mendapat banyak keuntungan.
Untuk hal terakhir itu, di masa Luhut B Panjaitan menjadi menteri perdagangan, di masa pemerintahan Gus Dur, Indonesia secara resmi menjalin hubungan dagang. Sejak itu, Indonesia menjadi pasar Israel. Buah-buahan Israel membanjiri pasar Indonesia yang besar. Ada lebih dari 200 juta penduduk Indonesia. Bandingkan dengan penduduk Israel yang hanya sekitar lima juta orang. Kita tak tahu Indonesia sudah mengekspor apa ke Israel. Atau teknologi militer apa dan teknologi informasi apa yang sudah ditrasfer ke Indonesia. Yang paling mungkin adalah Indonesia kembali menjadi konsumen belaka. Artinya, hubungan dagang itu lebih menguntungkan Isarel dibandingkan menguntungkan Indonesia.
Sebagian orang-orang yang pernah diundang ke Israel itu justru kemudian menjadi juru bicara efektif Israel di Indonesia. Melalui media sosial, atau bahkan melalui percakapan langsung, mereka berkicau. Apalagi mereka adalah orang-orang penting. Bukan orang kebanyakan. Mereka akan menyebut bahwa di Israel ada penduduk non Yahudi yang hidup damai. Bisa menjadi anggota parlemen.
Dengan mulut berbusa, mereka akan menceritakan keluhuran Israel. Mereka lupa pada fakta kerasnya: mereka mencaplok tanah air orang lain, mengusir dan membunuh bangsa lain. Mereka menjajah – sebuah kejahatan yang telanjang dan tak butuh dijelaskan. Pasti tak ada yang indah dari penjajahan. Orang Indonesia yang bercerita tentang itu rupanya sudah lupa pada sejarah negerinya. Saat Belanda menjajah Indonesia, Belanda juga membuka sekolah, mengangkat pribumi sebagai pegawai, membangun jalan dan jembatan, membangun industri dan perkebunan, menempatkan pribumi di parlemen, dan seterusnya. Tapi tetap saja Indonesia dijajah Belanda. Kita lebih memilih mati daripada dijajah. Tak ada kehormatan dalam penjajahan.
Terlepas dari segala kepiluan, suka tidak suka, secara internasional Indonesia dinilai menganeksasi Timor Timur. Indonesia persis melakukan seperti yang dilakukan Belanda. Bahkan Indonesia membangun patung Yesus yang besar di negeri yang kemudian menjadi Timor Leste tersebut. Indonesia bahkan memakmurkan mereka. Tapi mereka tetap ingin merdeka. Tanpa dukungan konsisten dari negara-negara Eropa, Amerika Serikat, Australia, Amerika Latin, Afrika, dan sebagainya, kita sulit membayangkan Timor Timur bisa merdeka. Konsistensi. Itulah sikap yang diharapkan agar Palestina bisa merdeka.
Lalu mereka bertetangga damai dengan Israel di sebelahnya. Sebuah kompromi yang sangat menyakitkan bangsa Palestina. Tapi itupun Israel tak pernah memberikannya. Tak ada kemerdekaan yang diberikan. Kemerdekaan itu diperjuangkan dan direbut. Memang tak mudah. Dan sebagian dari kita kemudian ikut frustrasi. Menjadi manusia lembek yang kehilangan prinsip, jati diri, dan lupa pada sejarah negerinya sendiri. Setelah berkunjung, lalu apa yang bisa Anda lakukan terhadap Israel? Obama pun tak mampu. Siapa Anda?
Mereka lupa pada Pembukaan UUD 1945. Mereka lupa pada pesan Bung Karno: “Selama kemerdekaan bangsa Palestina beloem diserahkan kepada orang-orang Palestina maka selama itoelah bangsa Indonesia berdiri menantang pendjadjahan Israel.” Karena amanat konstitusi pula Indonesia memparakarsai Konferensi Asia Afrika, yang memerdekakan banyak negeri di Afrika. Karena amanat konstitusi pula Indonesia memprakarsai Gerakan Non-Blok, yang independen dalam pertarungan dua blok. Dan di era pasca Perang Dingin ini, Indonesia tetap berpegang pada amanat konstitusi: menolak penjajahan di atas muka bumi.