Test Footer 1

Monday 23 September 2013

Gudang

Sistem Tanam Legowo Mampu Tingkatkan Produktivitas Padi Abdya


Hasil ubinan panen Model Pengembangan Pertanian Perdesaan Melalui Inovasi   (M-P3MI) di Desa Kepala Bandar, Kecamatan Susoh Kabupaten Abdya, Sabtu (10/9) menunjukkan peningkatan signifikan. Secara umum produktivitas rata-rata varietas Ciherang 10,2 ton GKP/ ha, meningkat dari hasil panen sebelumnya yang rata-rata 7,5 ton/ ha. Sedangkan di luar demfarm dengan penggunaan varietas Ciherang, Mekongga, Inpari 10 dan Inpari 13 memberikan produktivitas rata-rata   5,8 – 6,5 ton GKP/ ha.
Kepala Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Aceh Ir. H. Basri A. Bakar, M.Si  menyebutkan keberhasilan tersebut selain faktor dukungan kelompok tani, juga karena pengaruh pola tanam sistem Legowo atau Jurong 2 : 1 yag terbukti dapat menambah populasi tanaman dibanding cara tanam biasa.  Disebutkan alat caplak roda hasil modifikasi BPTP telah membantu para petani untuk memudahkan cara tanam Jurong. “Saya berharap dengan dukungan Dinas dan Bapel Penyuluhan, alat caplak roda ini dapat diperbanyak di setiap BPP sehingga keluhan petani selama ini dapat diatasi,” papar Basri.
Dalam kesempatan tersebut Basri juga mengharapkan dukungan pemerintah kabupaten agar mengembangkan inovasi secara meluas, sehingga usahatani yang diterapkan dapat membuahkan hasil.  Menurut  Basri,  keberadaan BPTP merupakan perpanjangan tangan dari Badan Litbang Kementerian Pertanian yang berada di daerah, yang mengemban tugas untuk merakit teknologi spesifik lokasi. “Kegiatan M-P3MI merupakan kegiatan percontohan yang dapat memberikan motivasi baru bagi petani dalam  pengembangan pertanian di Kabupaten Abdya”, ujarnya.
Ditambahkan, selain mendukung program empat sukses Kementan, kegiatan ini dapat menjadi model bagi kelompoktani untuk dapat saling belajar, karena ada kegiatan pelatihan yang dilaksanakan baik bagi petani maupun penyuluh.
Lebih lanjut Basri berharap walaupun hasil ubinan memberikan produktivitas yang meningkat, namun petani harus mencoba lagi pada musim tanam berikutnya. “Mungkin Inpari-10 kurang adaptif dan tidak sesuai dengan agro ekosistem wilayah, tapi ke depan kita akan kembangkan varietas yang lebih tahan dan toleran terhadap ekosistem wilayah”, paparnya.
Sementara itu menurut koordinator BPP Susoh, Yuliani, S.P. Pihaknya terus berupaya dalam melakukan pembinaan serta sosialisasi termasuk dinamika dan manajemen kelompok. Ia berjanji alat caplak roda dapat diperbanyak pada musim tanam berikutnya. “Saya yakin petani lebih serius dalam mengadopsi inovasi yang diperkenalkan BPTP, karena telah melihat langsung hasilnya,” ujarnya.
Acara panen raya di areal demfarm seluas 5 ha tersebut selain dihadiri Kepala BPTP Aceh, juga hadir Asisten II Bidang Pembangunan dan Kesejahteraan Rakyat Drs. Thamrin, Kadistannak Drh. Adusmin Umar, Kepala Bapel Penyuluhan dan Ketahanan Pangan Ir. Adianur, Kapolsek/ Dandim Susoh, para penyuluh, kelompok tani dan masyarakat sekitar. “Kami berharap tahun depan BPTP masih melanjutkan pembinaannya,” ujar M. Yasin Banta Kepala Desa Kepala Bandar  yang juga salah seorang petani kooperator kelompok tani Rawa Sakti.
Read More
Gudang

Sejarah Kota Lhokseumawe


Asal kata Lhokseumawe adalah “ Lhok” dan “Seumawe”. Lhok artinya dalam, teluk, palung laut dan Seumawe artinya air yang berputar-putar atau pusat dan mata air pada laut sepanjang lepas pantai Banda Sakti dan sekitarnya. Keterangan lain juga menyebutkan nama Lhokseumawe berasal dari nama Teungku yaitu Teungku Lhokseumawe, yang dimakamkan dikampung Uteun Bayi, merupakan kampung tertua di Kecamatan Banda Sakti.
Sebelum abad ke XX negeri ini telah diperintah oleh Uleebalang Kutablang. Tahun 1903 setelah perlawanan pejuang Aceh terhadap Belanda melemah, Aceh mulai dikuasai, Lhokseumawe menjadi daerah takluknya dan mulai saat itu status Lhokseumawe menjadi Bestuur van Lhokseumawe dengan Zelf Bestuurder adalah Teuku Abdul Lhokseumawe tunduk dibawah Aspiran Controeleur dan di Lhokseumawe berkedudukan juga Controleur atau Wedana serta Asisten Residen atau Bupati.
Pada dasawarsa kedua abad ke XX itu, diantara seluruh daratan aceh,salah satu pulau kecil luas sekitar 11 km2 yang dipisahkan sungai Krueng Cunda diisi bangunan-bangunan Pemerintah Umum, Militer dan Penghubungan Kereta Api oleh Pemerintah Belanda Pulau Kecil dengan desa-desa kampung Keude Aceh, Kampung Jawa, Kampung Kutablang, Kampung Mon Geudong, Kampung Teumpok Teungoh, Kampung Hagu, Kampung Uteun Bayi dan Kampung Ujong Blang dan keseluruhan baru berpenduduk 5.500 jiwa, secara jamak disebut Lhokseumawe. Bangunan demi bangunan mengisi daratan ini sampai terwujud embrio kota yang memiliki pelabuhan, pasar, stasiun kereta api dan kantor-kantor lembaga Pemerintahan.
Masa penduduk Jepang, Zelf Bestuurder Lhokseumawe tidak lagi dipegang Maharaja, tetapi mulai tahun 1942 s/d 1946 dipegang putranya Teuku Baharuddin.
Sejak Proklamasi kemerdekaan, Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia belum terbentuk sistematik sampai kecamatan ini. Pada mulanya Lhokseumawe digabung dengan Bestuurder van Cunda. Penduduk didaratan ini semakin ramai berdatangan dari daerah sekitarnya seperti Buloh Blang Ara, Matangkuli, Lhoksukon, Blang Jruen, Nisam dan Cunda serta Pidie.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintah di Daerah, berpeluang peningkatan status Lhokseumawe menjadi Kota Administrasif. Dengan Nota Dinas Bupati Kepala Daerah Tk. II Aceh Utara Nomor 125/50/80 Tanggal 12 Mei 1980, Drs. Mahyiddin AR ditunjuk sebagai Ketua Tim Perencana Kota Lhokseumawe menjadi Kota Administratif dibawah arahan Bupati Aceh Utara Kolonel H. Ali Basyah.
Pada Tanggal 14 Agustus 1986 Pembentukan Kota Administratif (Kotif) Lhokseumawe ditandatangani oleh Presiden Soeharto, yang diresmikan oleh Menteri Dalam negeri Soeparjo Roestam pada tanggal 31 Agustus 1987 dengan Walikotif perdananya Bapak Drs. H. Mahyiddin AR yang dilantik oleh Gubernur Propinsi Daerah Istimewa Aceh, Prof. DR Ibrahim Hasan, MBA.
Dengan peresmian dan pelantikan Walikotif, secara derujee dan defacto Lhokseumawe telah menjadi Kota Administratif dengan luas wilayah 253.87 km2 yang meliputi 101 desa dan 6 kelurahan yang tersebar di 5 (lima) kecamatan, yaitu:
  • Kecamatan Banda sakti
  • Kecamatan Muara Dua
  • Kecamatan Dewantara
  • Kecamatan Muara Batu
  • Kecamatan Blang Mangat
Pada tanggal 31 Oktober 1992 Pejabat Walikota (Drs. Mahyiddin AR) meninggal dunia dan dilanjutkan oleh Sekretaris Kotif sebagai pelaksana tugas H. Syuib Nursyah, SH. Kemudian pada tanggal 29 Juni 1994 jabatan Walikotif definitif dijabat oleh Drs. Muhammad Usman dibawah Bupati Kepala Daerah Tk. II Aceh Utara H. Karimuddin Hasybullah, SE. Selanjutnya mulai tanggal 11 Juni 1996 dijabat oleh Drs. Rachmatsyah dibawah kepemimpinan Bupati Aceh Utara H. Karimuddin Hasybullah, SE.
Sejak tanggal 1988 Bupati Aceh Utara H. Karimuddin Hasybullah SE menggagas peningkatan status Kotip Lhokseumawe untuk menjadi Kotamadya, kemudian, pada tahun 2000 Bupati Aceh Utara, Tarmizi A. Karim, merekomendasi peningkatan status itu bersama pimpinan DPRD Aceh Utara yang diketuai H. Saifuddin Ilyas. Atas dukungan Gubernur Aceh mulai Prof. DR. Syamsudin Mahmud, Penjabat Gubernur H. Ramli Ridwan, SH, dan Gubernur Ir. H. Abdullah Puteh,MSi, serta penyampaian visi misi kota ke Dep. Dalam Negeri, dan DPR-RI oleh Walikotif Drs. H. Rachmatsyah, kemudian lahir UU No 2 Tahun 2001, tentang pembentukan Kota Lhokseumawe tanggal 21 Juni 2001, yang ditandatangani Presiden RI H. Abdurrahman Wahid, yang wilayahnya mencakup 3 (tiga) Kecamatan, yaitu :
  • Kecamatan Banda Sakti
  • Kecamatan Muara Dua
  • Kecamatan Blang Mangat
Kemudian pada tanggal 17 Oktober 2001 di Jakarta, Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Hari Sabarno meresmikan Pemko Lhokseumawe bersama 12 Kabupaten / Kota seluruh Indonesia. Selanjutnya pada Tanggal 2 Nopember 2001 bertempat di Banda Aceh, Gunernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Ir. H. Abdullah Puteh melantik Drs. H. Rachmatsyah MM sebagai Pejabat Walikota Lhokseumawe perdana yang sampai saat ini masih bertugas. Pada tanggal 23 Desember 2001 perangkat Pemko Lhokseumawe meliputi Sekretariat Daerah, Bawasda, Bappeda, Dinas Pendapatan, Dinas Kesehatan, Dinas Kimpraswil, Dinas PSDA dan Kelautan, Dinas P dan K, Kantor Sanitasi Kebersihan dan Pertamanan, dan Kecamatan Banda Sakti, Kecamatan Muara Dua, serta Kecamatan Blang Mangat, dibentuk, dikukuhkan dan diisi jabatan struktural, sehingga mulai tahun Anggaran 2002 Daerah Otonom baru Kota Lhokseumawe telah eksis.
Read More
Gudang

Sejarah Kota Banda Aceh


SEJARAH BANDA ACEH 

Banda Aceh atau Banda Aceh Darussalam telah dikenal sebagai ibukota Kerajaan Aceh Darussalam sejak tahun 1205 dan merupakan salah satu kota Islam Tertua di Asia Tenggara. Kota ini didirikan pada hari Jumat, 1 Ramadhan 601H (22 April 1205) oleh Sultan Alaidin Johansyah setelah berhasil menaklukkan Kerajaan Hindu/Budha Indra Purba dengan ibukotanya Bandar Lamuri. Berdasarkan hal tersebut maka diaturlah Peraturan Daerah Aceh Nomor 5 Tahun 1988 yang menetapkan tanggal 22 April 1205 sebagai tanggal berdirinya kota tersebut. 

Banda Aceh Darussalam pernah menderita kehancuran pada waktu pecah "Perang Saudara" antara Sultan yang berkuasa dengan adik-adiknya, peristiwa ini dilukiskan oleh Teungku Dirukam dalam karya sastranya, Hikayat Pocut Muhammad.

Selain itu dalam beberapa catatan sejarah, diketahu bahwa Laksamana dari kerajaan Cina, Cheng Ho pernah singgah di Banda Aceh dalam ekspedisi pertamanya antara tahun 1405 - 1407 setelah singgah terlebih dahulu di Palembang. Pada saat itu kerajaan Aceh dikenal dengan kerajaan Samudera Pasai. Pada saat itu Cheng Ho memberikan lonceng raksasa "Cakra Donya" kepada Sultan Aceh, yang kini tersimpan di museum Banda Aceh. 

Pada saat terjadi perang melawan ancaman kolonialisme, Banda Aceh menjadi pusat perlawanan Sultan dan rakyat Aceh selama 70 tahun sebagai jawaban atas ultimatum Kerajaan Belanda yang bertanggal 26 Maret 1837. Setelah rakyat Aceh kalah dalam peperangan ini maka diatas puing kota ini pemerintahan kolonial Belanda mendirikan Kutaraja yang kemudian disahkan oleh Gubernur Jenderal Van Swieten di Batavia denganbeslit yang bertanggal 16 Maret 1874. 

Pergantian nama ini banyak terjadi pertentangan di kalangan para tentara Kolonial Belanda yang pernah bertugas dan mereka beranggapan bahwa Van Swieten hanya mencari muka pada Kerajaan Belanda karena telah berhasil menaklukkan para pejuang Aceh dan mereka meragukannya. 

Setelah masuk dalam pangkuan Pemerintah Republik Indonesia baru sejak 28 Desember 1962 nama kota ini kembali diganti menjadi Banda Aceh berdasarkan Keputusan Menteri Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah bertanggal 9 Mei 1963 No. Des 52/1/43-43 

Pada tanggal 26 Desember 2004, kota ini dilanda gelombang pasang tsunami yang diakibatkan oleh gempa 9,2 Skala Richter di Samudera Indonesia. Bencana ini menelan ratusan ribu jiwa penduduk dan menghancurkan lebih dari 60% bangunan kota ini. Berdasarkan hasil SPAN2005 (Population Census in Aceh and Nias, 2005) jumlah penduduk Kota Banda Aceh pasca tsunami adalah sebesar 177.881 jiwa. 

WALIKOTA BANDA ACEH 

Setiap kota sudah pasti punya walikota yang memimpinnya. Begitu pula dengan Kota Banda Aceh. Walikota Banda Aceh yang sekarang adalah Mawardi Nurdin. Ia terpilih dalam Pilkada pada 11 Desember 2006, yang berpasangan dengan Illiza Saaduddin Djamal (politisi Partai Persatuan Pembangunan). Sebelumnya, Mawardi yang merupakan Kepala Dinas Perkotaan dan Permukiman Kota Banda Aceh, juga pernah menjabat sebagai Pejabat Sementara (PjS) Walikota Banda Aceh yang dilantik Wakil Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam Azwar Abubakar pada 8 Februari 2005. Pelantikan itu sesuai dengan keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 131.21/52/2005 tentang Pemberhentian dan Pengangkatan Walikota Banda Aceh. Mawardi Nurdin menjabat sebagai Walikota Banda Aceh setelah wali kota sebelumnya Syarifudin Latief dipastikan meninggal dunia akibat bencana tsunami. Dalam surat keputusan itu juga disebutkan masa menjabat sebagai PjS Walikota Banda Aceh paling lama enam bulan sejak pelantikan. 

Tapi ada yang tau nggak sih siapa wali kota pertama kota banda aceh…??? 

Kita tanya om google aja yok,,, hehehe,, Wali Kota pertama Banda Aceh adalah Teuku Ali Basyah. Ia menjadi wali kota sejak tahun 1957 sampai tahun 1959. 

Pada awalnya hanya ada 4 kecamatan di Kota Banda Aceh yaitu Meuraksa, Baiturrahman, Kuta Alam dan Syiah Kuala. Kemudian berkembang menjadi 9 kecamatan yaitu: Baiturrahman, Banda Raya, Jaya Baru, Kuta Alam, Kuta Raja, Lueng Bata, Meuraksa, Syiah Kuala, Ulee Kareng. 

Sampai di sini dulu ya pembahasan tentang Kota Banda Aceh. Jangan lupa ikuti terus  karena masih ada  kota-kota lain lagi di Nanggroe Aceh yang akan kita bahas.
Read More
Gudang

Keajaiban Di balik Nama INDONESIA


Indonesia adalah negeri yang pernah di jajah selama 350 tahun lamanya. Indonesia baru bisa melepaskan diri dari belenggu penjajah pada tahun 1945. Berawal dari kemerdekaan ini lah, muncul sebuah hasil perhitungan yang saya dapat dari guru saya sendiri, dimana beliau sendiri tidak mengetahui dari mana asalnya keajaibanini datang. Apakah ini memang sudah dirancang khusus oleh para pendiri bangsa indonesia atau kah hanya sekedar kebetulan saja.

 Mari kita perhatikan huruf yang menyusun kata Indonesia dibawah ini :

              I    : merupakan huruf ke 9 dari alfabeth 
              N   : merupakan huruf ke 14 dari alfabeth 
              D   : merupakan huruf ke 4 dari alfabeth 
              O   : merupakan huruf ke 15 dari alfabeth 
              N   : merupakan huruf ke 14 dari alfabeth 
              E    : merupakan huruf ke 5 dari alfabeth 
              S    : merupakan huruf ke 19 dari alfabeth 
              I    : merupakan huruf ke 9 dari alfabeth 
             A   : merupakan huruf ke 1 dari alfabeth


Dari semua angka di atas, yang keluar hanyalah angka "1 9 4 5"
Dan jika kita jumlahkan semua angka dari kata "INDONESIA" di atas, jumlahnya 90.
Dalam al-Qur an, surat ke 90 adalah surat Al-Balad yang berarti Negeri.
Ini memerlukan sebuah pengkajian yang lebih mendalam, apakah ini hanya sebuah kebetulan 
atau memang sudah dirancang sebelumnya??!!
Kalau pun dikatakan sudah ada yang merancang, siapakah yang merancang itu semua?

wallahu a'lam..
Read More