Test Footer 1

Thursday 6 June 2013

Gudang

Orang Aceh bisa Berobat Gratis di Seluruh Indonesia, Hanya Bermodal KTP ACEH


DIMANAPUN ada orang Aceh, jika sakit dan sangat emergency cukup datang ke rumah sakit terdekat di seluruh Indonesia, hanya perlihatkan KTP atau KK dari Aceh kepada petugas PT. Askes untuk mendapatkan pelayanan gratis melalui Jaminan Kesehatan Aceh (JKA).
Warga Aceh yang sakit tak perlu lagi pusing memikirkan uang, apalagi sampai-sampai menjual harta benda untuk berobat ke rumah sakit. Hanya dengan menunjukkan Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Keluarga (KK), mereka dapat memeroleh pelayanan kesehatan secara gratis di rumah-rumah sakit dan puskesmas.
Fasilitas gratis ini terwujud berkat diterapkannya program asuransi Jaminan Kesehatan Aceh (JKA) oleh pemerintah provinsi Aceh. Sejak 2010, Program jaminan kesehatan ini telah efektif diberlakukan. Pemerintah Aceh menunjuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yakni PT Askes sebagai mitra dalam program JKA tersebut.
Warga yang tercatat sebagai penduduk provinsi Aceh hanya perlu memperlihatkan Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Keluarga saat hendak berobat gratis di puskesmas, rumah sakit di Aceh maupun luar Aceh. Program JKA juga tidak membatasi jenis penyakit apa yang diderita oleh penduduk Aceh.
Direktur utama PT Asuransi kesehatan (Askes) I Gede Subawa, menyatakan program Jaminan Kesehatan Aceh (JKA) telah memberi kemudahan bagi masyarakat karena tidak lagi memikirkan biaya jika sakit.
"Masyarakat Aceh tentunya bersyukur dengan program spektakuler yang digagas pemerintah provinsi. Sabab, hanya berbekal KTP dan KK sudah bisa berobat gratis di puskesmas dan rumah sakit. Saya berharap apa yang telah diterapkan di Aceh melalui program asuransi JKA ini bisa menjadi contoh dan model untuk dilaksanakan di seluruh Indonesia," kata I Gede.
Program JKA ini tidak memandang status sosial atau profesi. Program ini juga tidak membatasi keluarga PNS, swasta, TNI dan Polri yang tidak tertanggung oleh asuransi lain, untuk mendapatkan pelayanan kesehatan gratis.
PT Askes akan mengelola dana sekitar Rp 241 miliar dari program JKA tersebut. Program jaminan kesehatan ini akan berlangsung selama enam bulan untuk segala macam penyakit. Jika program ini berlanjut, maka pemerintah Aceh dapat mengajukan adendum atau perubahan dengan PT Askes. Namun semuanya tergantung kebijakan pemerintah daerah setelah program ini berakhir.
PT Askes berupaya memberikan pelayanan terbaik bagi peserta JKA. Baru Aceh yang pertama memberikan jaminan kesehatan kepada penduduknya. Sementara provinsi lain di Indonesia masih sebatas wacana, I Gede Subawa berharap ke depan bisa diikuti oleh daerah lain.
PT Askes berperan hanya sebagai pengelola, jika masa kerja sama itu berakhir dan dana sebesar sekitar Rp241 miliar masih tersisa maka pihaknya akan mengembalikan kepada Pemerintah Aceh.
Direktur Rumah Sakit Umum Daerah dokter Zainoel Abidin (RSUDZA) Banda Aceh, menyatakan rumah sakit yang juga ditunjuk sebagai mitra dalam pelaksanaan program JKA sudah siap untuk melayani pengobatan gratis masyarakat.
RSUDZA adalah salah satu rumah sakit rujukan tingkat provinsi, yang akan menerima pasien peserta JKA yang akan dirujuk dari kabupaten/kota di provinsi itu.
"Kami juga berperan apabila ada warga Aceh yang bermasalah dengan kesehatannya dan tidak bisa ditanggulangi di RSUDZA, maka dapat mengajukan rujukan ke rumah sakit lain seperti ke Medan dan Jakarta," kata Taufik Mahdi.
Read More
Gudang

Phobia hijab mengusik Muslimah Nigeria


Meskipun memiliki jumlah penduduk Muslim yang besar, umat Islam di Barat Daya Nigeria menyaksikan sentimen yang tumbuh terhadap hijab, fenomena yang terjadi akibat kebijakan pemerintah atas stigmatisasi dan intoleransi, lansir On Islam pada Rabu (5/6/2013).
“Apa yang terjadi di Barat Daya termasuk di Lagos adalah produk intoleransi, tirani, penindasan, penganiayaan dan stigmatisasi,” kata Profesor Ishaq Akintola, direktur eksekutif Kepedulian Hak Muslim (MURIC), kepada OnIslam.net.
“Penolakan penggunaan hijab di sekolah umum mengungkapkan kondisi hak asasi manusia yang menyedihkan umat Islam di Barat Daya baik pada masa kolonial maupun pasca-kolonial.”
“Hal ini juga bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi kebebasan, persamaan hak, keadilan dan fair play.”
Sentimen anti-hijab telah meningkat di Barat Daya Nigeria, dengan sekolah umum yang melarang siswanya mengenakan hijab.
Di Lagos, seorang siswa berusia 12 tahun dilaporkan dicambuk oleh kepala sekolahnya karena mengenakan hijab di sekolah. Siswa lain juga dilecehkan oleh kepala sekolahnya untuk alasan yang sama.
Kedua insiden itu meminta payung Muslim Students Society of Nigeria untuk menuntut pemerintah atas berjatuhannya “korban terus-menerus dari para siswa Muslim.”
Sebagai tanggapan, pemerintah setempat telah mengajukan permohonan penyelesaian di luar pengadilan untuk sengketa pemakaian hijab di sekolah-sekolah. Langkah tersebut diterima oleh umat Islam pada kondisi memenuhi kewajiban agama mereka.
Muslim di Barat Daya Nigeria Osun juga menantang larangan mengenakan hijab di sekolah umum.
Profesor Akintola mendesak pemerintah untuk menghapus setiap kebijakan yang “lebih bisa memancing kemarahan umat Islam yang sedang terpinggirkan meskipun mayoritas.”
“Alih-alih membiarkan dialog yang bebas, Pemerintah Negara Lagos malah mendorong umat Islam di negara bagian menjadi terabaikan,” kata profesor Akintola, yang mengajar studi Islam di Lagos State University.
Ia mengatakan larangan hijab melanggar “ketentuan Pasal 18 dari Piagam PBB dan Pasal 9 dan 14 dari Perjanjian Eropa tentang Hak Asasi Manusia dan Pasal 18 dan 19 dari Perjanjian Hak Sipil dan Politik”.
“Kami menantang pemerintah untuk memberitahu dunia mengapa hijab diterima sebagai seragam sekolah bagi umat Islam di Utara namun menjadi sebuah ‘kutukan’ di Barat Daya, padahal Nigeria adalah satu negara?”
Dia memperingatkan bahwa kebijakan pemerintah tentang hijab telah memperburuk hubungan antara Muslim dan pemerintah negara bagian.
Hassan Ma’ruf, seorang dosen di Universitas Ladoke Akintola di Southwest Nigeria, setuju.
Meningkatnya Islamophobia di Nigeria, “adalah dibenarkan karena tidak ada bukti yang meyakinkan untuk menunjukkan bahwa umat Islam yang menyebabkan masalah di negeri ini,” katanya.
Muslim dan Kristen masing-masing merupakan 55 dan 40 persen dari 140 juta penduduk Nigeria.
Ketegangan etnis dan agama telah menggelegak selama bertahun-tahun, didorong oleh dekade kebencian antara kelompok penduduk asli, sebagian besar Kristen atau animis yang berlomba-lomba untuk menguasai lahan pertanian yang subur, dengan para imigran dan pendatang dari Hausa, yang sebagian besar adalah Muslim. []
Read More